Sejak pertama menikah dengan ayah saya, ibu selalu punya satu cita-cita: Ia ingin berangkat menunaikan ibadah haji bersama-sama dengan ayah.
Setelah menikah, setiap hari ia rawat mimpi itu dan sebisa mungkin menabung untuk membayar ongkos naik haji mereka berdua. Sayangnya, ayah saya hanya seorang pegawai negeri sipil dengan gaji pas-pasan. Jangankan untuk membayar ONH, bahkan untuk mencukupi kehidupan sehari-hari pun kadang-kadang harus berhutang.
Tahun demi tahun berlalu, ibu saya mulai berpikir realistis. Mimpi untuk berangkat haji ia tunda dulu. Fokusnya beralih pada anak-anak dan kehidupan keluarga yang bahagia—meski dengan penghasilan suaminya yang tak berlebih untuk bisa mencukupi semuanya. Namun, bagaimanapun, dalam hati kecil ibu, mimpi untuk berangkat menunaikan ibadah haji bersama ayah selalu ada… dan akan selalu ada. Continue reading